waktu ada yang bertanya kepada saia, “Kapan kamu mulai menulis?” saia selalu jawab, “Sejak kecil!”
kemudian mengalirlah cerita yang-sebenarnya-standar tentang sejarah saia dan menulis. sejak kecil saia suka menulis di buku harian. bercerita tentang aktivitas sehari-hari, blak-blak’an mengungkapkan perasaan dan isi hati, nulis puisi *jangan percaya bagian ini*, menggambar sketsa sederhana, apaaaaa aaaajjjjjaaaaa… semua hal saia tulis, sampai hal-hal kecil yang remeh dan ga penting.
meski saia suka menulis, menulis bukanlah hobi bagi saia. menulis bukan sebuah kegiatan yang menjadi candu buat saia. saia ga harus menulis sepanjang waktu, setiap hari, atau ketika saia butuh menyalurkan keinginan menulis. saia juga ga harus bertemu dengan mood baik untuk menghasilkan sebuah tulisan bermutu *walau saia sadar bahwa tulisan saia ga pernah bermutu*. bahkan saia ga perlu mencari-cari atau menjemput inspirasi ketika dihadapkan pada kondisi harus menulis. dan dalam kenyataan bahwa menulis adalah bukan hobi saia, saia jadi engga peduli bahwa sebuah tulisan haruslah baik, saia dan tulisan saia ga terikat oleh standar kualitas tertentu.
jadi sebenarnya, jika ada yang tanya, ada apa antara saia dan menulis *tapi kayaknya sih ga bakal ada yang nanya iah? hehehe, PD sekali saia ini*. saia sendiri ga tau mulai kapan saia menyadari ini, mungkin sejak saia mengetikkan kata pertama di postingan ini. yang jelas, saia merasa bahwa sebenarnya di antara saia dan menulis adalah sepasang musuh abadi. anda menemukan sebuah pertentangan kan disini..? temen-temen pasti melihat ketidak-konsistenan atas pernyataan-pernyataan saia. di awal saia sebut bahwa saia suka menulis, bahkan sejak kecil. tapi sekarang, saia malah menyebut bahwa kami adalah musuh abadi. bahwa saia benci menulis. hmmm.. buat saia, menulis adalah aktivitas paling akhir yang bisa dan harus saia lakukan untuk menegaskan eksistensi saia. menulis adalah cara terakhir untuk mengungkapkan perasaan dan isi hati. dengan menulis, orang-orang akan tau, bahwa saia ini ada. i’m alive. hal itulah yang memaksa saia menulis. saat ucap dan perilaku saia sudah ga mengena lagi, ga ada hal lain yang bisa saia lakukan selain menulis.
itu yang saia rasakan sejak kecil. saia mencoba berbicara kepada orang tua dan orang-orang lainnya tentang keinginan saia, tentang perasaan saia. saia menunjukkan ketertarikan saia terhadap sesuatu, dan terang-terangan saia menyatakan ketidaksukaan saia pula. hal-hal nyata tersebut justru tidak mendapat respon positif. berkali-kali. berulang terus. sampai saia jadi terpaksa menulis. sungguh, saia benci sekali menulis. saia benci tenggelam dalam banyak pilihan kata, dan harus menggunakan salah satunya untuk mewakili perasaan hati. saia lebih suka mengutarakan perasaan dan keinginan saia secara langsung, tanpa harus tertunda dalam lautan kata seperti ini. namun, justru hanya melalui tulisan ini, orang-orang di sekeliling saia jadi bisa memahami saia. hanya dari sebuah tulisan. dan jika mereka lupa, mereka tinggal menunjukkan tulisan itu.
trus saia bisa melakukan apa? bertahun-tahun saia mencoba berdamai dengan kegiatan menulis ini. tiap kali menulis biodata, saia mencantumkan menulis sebagai hobi. tiap kali orang lain memuji tulisan saia, saia hanya bisa bilang : seharusnya saia bisa mengutarakannya secara langsung tanpa harus ditulis. tapi semakin saia membencinya, justru saia jadi semakin tergantung terhadapnya. karena ga ada orang yang mau mendengar saia. orang-orang lebih suka saia diam. kalo saia diam, bagaimana saia bisa menjadi ADA di antara mereka?? bagaimana cara saia supaya tetap eksis?? mau ga mau.. suka ga suka.. tapi, harus! sampai akhirnya tibalah saia di dimensi ini. pada masa saia harus menulis demi eksistensi diri, meski ga suka.
dan saat ada yang bertanya lagi, “Berarti sekarang sudah suka menulis?” jawaban saia masih sama, “Saya benci sekali menulis. Saya harap saya ga perlu menulis.”
2 pendapats:
mmm... disaat kau sudah menjadi miliku sepenuhnya kamu takperlu lagi menulis... bicaralah maka aku akan berusaha sekuat tenagaku mewujudkannya